Saturday, April 28, 2018

Seri Diskusi Konservasi #1 : “Penelitian Owa dan Lutung Merah di Kalimantan”

Lutung merah (Foto BNF)
Belajar  dari pengalaman dan keberhasilan kegiatan penelitian dan konservasi di tempat lain, tentu menjadi hal yang sangat istimewa. Permasalahan dan strategi pelestarian di tingkat site sudah pasti akan berbeda dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain. Diskusi konservasi, pemaparan kegiatan lapangan, dan interaksi komunikasi secara langsung dengan pelaku pegiat konservasi menjadi motivasi tersendiri untuk terus melakukan kegiatan pelestarian alam.

Hal inilah salah beberapa hal yang mendasari swaraowa mengadakan seri diskusi konservasi, kebetulan sekali bulan April ini SwaraOwa bekerjasama dengan lembaga konservasi internasional yang berada di Kalimantan Tengah –Borneo Nature Foundation (BNF), ada kegiatan pertukaran staff untuk field visit. Seri dikusi konservasi yang pertama, telah sukses dilaksanakan tanggal 27 April 2018.

Owa Kalimantan (Foto BNF)

Acara di laksanakan di Welo asri, sebuah lokasi wisata edukasi yang sedang dibangun di habitat owa jawa oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis) desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono.Tim BNF di wakili oleh Eka Cahyaningrum (primate scientist), supian (koordinator peneliti lutung merah) dan Azis ( koordinator peneliti owa) dengan senang hati berbagi cerita lapangan untuk peserta yang mewakili beberapa lembaga dan organisasi yang tertarik dengan kegiatan ini.

Acara ini di hadiri oleh kurang lebih 40 peserta, dari mahasiswa, kelompok pecinta alam, BKSDA dan Petugas Penyuluh Kehutanan, dan beberapa pegiat media sosial  di Kab.Pekalongan. Acara dibuka oleh ketua pokdarwis Welo Asri (M.Kuswoto) dengan memperkenalkan wilayah petungkriyono secara umum dan kemudian di sambut oleh pemaparan singkat jenis-jenis primata oleh Salmah widyastuti (swaraowa).


Mendengarkan cerita lapangan tim BNF yang sangat berbeda kondisi alamnya dengan habitat Owa di Petungkriyono, memberikan gambaran langsung bagaimana kegiatan penelitian di hutan rawa gambut dataran rendah di Sebangau.  Azis dan Supian menceritakan suka duka ketika dilapangan yang membatu peneliti-peneliti dari dalam dan luar negeri, kondisi hutan rawa yang terendam air dan ketika musim kemarau mengalami kebakaran hebat, adalah hal luar biasa yang di lakukan, untuk mengumpulkan informasi ilmiah sebagai dasar ilmu pengetahuan dan masukan untuk pengelolaan keanekargaman hayati.

Eka, Supian dan Azis dari BNF menyampaikan presentasi

Secara umum Eka memparkan bahwa kegiatan kegiatan penelitian inilah yang membentuk sebuah organisasi yang solid, program penelitian, program pelaksana, dan tim pendukung, menjadi sebuah kesatuan organisasi yang saling melengkapi untuk melestarikan keanekaragaman hayati di Sebangau.
Sesi Tanya jawab, memunculkan pertanyaan yang cukup menarik karena dari penelitian di Sebangau terdapat kelompok owa yang di anggota kelompoknya yang betinanya lebih dari satu, dan hal ini sangat jelas di ceritakan oleh tim, bagaimana mereka mengikuti perubahan yang terjadi dalam kelompok ini, owa yang di kenal sebagai binatang yang setia pasangan, ternyata kondisi di alam kadang berbeda dengan teori yang selama ini berlaku. Perilaku owa Kalimantan juga sangat jelas di ceritakan tentang perilaku bersuara yang berbeda dengan perilaku bersuara owa di petungkriyono, dimana owa jantan dan betina melakukan panggilan bersama-sama (duet call).
Suasana diskusi

Lutung merah yang di kenal dengan Bahasa Dayak dengan nama Kelasi (Presbytis rubicunda) sangat menarik di ceritakan bagaimana anggota  dalam kelompok ini menjalankan fungsi sosialnya, individu lain yang dewasa akan menjanga dan menggendong bayi lutung yang di tinggal induknya, bayi lutung merah teramati lebih berani, dan mandiri, meskipun terpisah dari induknya, berbeda dengan bayi Owa yang selalu dalam gendongan selama hampir 3 tahun.

Foto bersama dengan peserta (Foto Suprio Y)

Seri diskusi konservasi ini, di tutup oleh tim swaraowa dengan harapan kedepan dapat membangun komunikasi antar pegiat konservasi di wilayah habitat primata terancam punah, saling tukar pengalaman dan informasi juga menjadi hal yang sangat mungkin untuk membangun kolaborasi yang lebih nyata untuk konservasi primata Indonesia.

Sampai jumpa seri diskusi konservasi selanjutnya. (Salam Hijau)

Monday, April 9, 2018

Nyanyian Owa Bukit Santuai



Ditengah perkebunan sawit, Kalimantan Tengah , di antaranya masih terdapat sisa-sisa tegakan hutan alami yang masih bertahan dan kalau kita perhatikan ada nyanyian Owa di antaranya . Perjalanan tim swaraowa bulan Maret 2018 ini menuju salah satu kawasan hutan alami yang tersisa di antara bentang alam monoculture, Kelapa Sawit.

Kota tujuan yang kami tuju adalah Sampit, Kabupaten Kota Waringin Timur. Keluar dari Bandara  Sampit nampak sekali atmosfer perkebunan dan industri minyak sawit, terasa. Ratusan mungkin bisa mencapai ribuan truk pengangkut minyak hilir mudik di jalan-jalan Sampit ini. Perjalan kami kurang lebih 6 jam, dari kota sampit, Bukit Santuai adalah nama kota kecamatan, yang di wakili oleh bukit yang memang tersisa vegetasi alamnya yang terletak di antara perkebunan Sawit.

Bornean-white bearded Gibbon (Hylobates albibarbis)

Pengalaman berbeda dan menambah pengalaman lapangan terkait dengan pelestarian primata di kalimatan tengah. Yang menjadi perhatian kami adalah jenis owa, di Kalimantan, mengupdate pengetahuan dan permasalahan konservasi yang sama sekali berbedan dengan di Jawa atau di Mentawai yang telah kami kunjungi.

Menurut Cheyne, et al 2016, saat ini taxonomy jenis Owa di Kalimantan dan umumnya Borneo yang memasukkan Malaysia dan Brunai, terdapat 4 jenis Owa, yaitu Hylobates funereusHylobates MuelleriHylobates albibarbis, dan Hylobates abboti. Sebaran geografis nya di batasi sungai-sungai besar dan pegunungan di bagian tengah-utara Kalimantan.

Pengamatan singkat kami di kawasan bernilai konservasi tinggi perkebunan sawit, Agro Wana Lestari masih menjumpai kelompok Owa, bahkan beberapa di antaranya juga terdapat di kawasan riparian yang terisolasi oleh habitat Sawit.  Simak video berikut Owa dan nyanyiannya  yang kami jumpai di hutan bukit Hawuk dan Bukit Santuai.


Kunjungan singkat ke beberapa desa sekitar habitat Owa kalimantan ini, terlihat masih ada kegiatan adat yang sangat terkait dengan alam sekitar. Penganut  kaharingan , membuat tempat-tempat khusus untuk orang yang telah meninggal melalui upacara adat. Ada tiang-tiang (sapundu) bernila sakral untuk menghormati orang yang telah meninggal, berukir binatang, seperti burung, monyet, bajing,  di makam-makam orang , menunjukkan pengetahuan mereka tentang alam di sekitar mereka.
tiang-tiang bernilai sakral berukir monyet


Refferensi :

Cheyne, S.M., Gilhooly, L.J., Hamard, M.C., Höing, A., Houlihan, P.R., Loken, B., Phillips, A., Rayadin, Y., Capilla, B.R., Rowland, D. and Sastramidjaja, W.J., 2016. Population mapping of gibbons in Kalimantan, Indonesia: correlates of gibbon density and vegetation across the species’ range. Endangered Species Research30, pp.133-143.