Wednesday, December 7, 2022

Symposium Primata Asia ke-8, laporan dari Vietnam

Oleh : Arif Setiawan

Setelah pandemic covid19, inilah konfrence  international pertama untuk yang terkait primata-primata di Asia. Symsposium Asian primate ini untuk ke 8 kallinya di adakan di  fakultas Kehutanan Universitas Vietnam, Hanoi.

Pada kesempatan ini selain saya , dari tim SWARAOWA ada Aoliya yang akan presentasi di symposium ini , dan saya  juga  menjadi salah satu anggota komite scientific,mewakili Indonesia. Sebuah kebanggaan juga dapat berktontribusi untuk komunitas global dari Indonesia. Sejak bulan agustus 2022, informasi tentang symposium ini mulai disebarluaskan, termasuk melaui sosial media. Harapan nya banyak perwakilan dari Indonesia, sendiri sebagai negara di Asia  terbanyak  yang memiliki spesies primata.

Vietnam memiliki 24 jenis primata,mulai dari jenis Kukang ( Lorisiidae), jenis owa ada 6 dan semuanya dari genus nomascus yang berarti berjambul ( crested), dan dari famili Cercopitecidae monyet dan lutung (colobinae), jenis-jenis lutung di Vietnam memiliki warna yang sangat mencolok dan indah. Namun sayangnya hampir semua primata di Vietnam di 90 % dambang kepunahanan, 10 species diantaranya sudah critically endangered.

Seperti kita tahu sejarah kelam perang Vietnam dengan Jepang, Prancis , Cina dan Amerika telah membentuk kultur dan geopolitik yang mempengaruhi keanekaragaman hayati Vietnam sendiri. Vietnam adalah salah episentrum biodiversity hot spot di asia tenggara, namun juga menjadi pusat perdagangan satwaliar dunia. Pekerjaan yang tidak mudah untuk para pegiat pelestari alam di Vietnam. Dan berkunjung ke Vietnam adalah kesempatan melihat langsung situasi dilapangan bagaimana upaya-upaya pelestarian alam, khususnya primata ini dikembangkan.

Ketika pertama kali mendapat undangan ke Vietnam, tentu saja langsung menyambut hangat dan membuat rencana perjalanan untuk primate watching, meskipun kondisi di lapangan tentu akan berbeda . Cat Tien National park, menjadi target field trip sebelum acara inti symposium. Terletak di bagian selatan Vietnam, Taman Nasional ini menjadi target pengamatan kita adalah Nomascus gabrielle ( Yellow cheeked gibbon) dan Black Shanked Douc Langur ( Pygathrix nigripes). Dari bandara Ho Chi Min, perjalanan ke Cat Tien National Park kami tempuh dengan menggunakan taxi, dengan waktu tempuh kurang lebih 4 jam.

di depan pintu gerbang Cat Tien National Park

Yang menarik dari Cat Tien National park, mempunyai logo badak Jawa. Ya subspecies badak jawa  ( (Rhinocero sondaicus annamiticus )pernah hidup di Vietnam, dan tahun 2010 badak terakhir yang hidup di temukan mati, dibunuh oleh pemburu. Oleh pihak berwenang badak ini di temukan telah tertembak dan culanya sudah hilang, cula badak adalah salah satu bahan untuk pengobatan tradisional cina.

jalur pengamatan di Cat Tien National Park

Masuk kawasan TN, hanya membeli tiket 60,000 VND, sekitar Rp 38,000 cukup murah untuk ukuran taman nasional di Indonesia, Karena di kelilingi sungai TN Cat Tien juga merupakan wetland area, penyeberangan sungai menggunakan perahu yang stanby dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam. Untuk pengamatan owa, di TN Cat Tien ada biaya tersendiri 200,000 VND, di damping oleh staff TN dan harus menginap, karena harus berangkat pagi hari jam 4.30, dimana biasanya owa bersuara  ( morning call),  kemudian setelah mendengar arah owa bersuara, pemandu akan melokalisir lokasi dimana arah nya, dan berjalan menuju lokasi tersebut. Sangat susah untuk menemukan kelompok Owa ketika sudah hari terang, karena biasanya mereka berada di kanopi teratas dari pohon-pohon dan tidak ada lokasi spotting yang ideal untuk mengamati pohon atau kanopi yang rapat..

Namun kami, tidak memilih opsi ini, kami putuskan untuk trekking sendiri tanpa pemandu di hari pertama, dan jalan di taman nasional ini sudahsangat bagus, karena bisa di lalui mobil dan kendaraan, tapi khusus untuk wisatawan saja.


Black Shanked Douc Langur, jantan dewasa

Black Shanked Douc Langur, remaja


Macaca fascicularis


Perjumpaan primata Vietnam yang pertama kali  adalah dengan Black Shanked Douc lagur ( Pygathrix nigripes), sejenis lutung yang seukuran bekatan kalau di Indonesia, berwarna kombinasi hitam dan putih, dan bagian pahanya hitam mengkilap.  Jenis ini sudah critically endangered statusnya. Seperti lutung pada umumnya yang pemakan daun, jam-jam perjumpaan kita adalah jam istirahat, dimana lutung mecerna daun-daun yang dimakannya. Ada 2 kelompok yang kita jumpai pagi itu, dan sepertiya sudah cukup terhabituasi dengan pengunjung.

Hari ke-dua kami mencoba pengamatan lagi, kali ini menggunakan sepeda yang di sewa di kantor TN. Jalur sepeda sebenarnya cukup nyaman, tapi sepedanya kadang tidak dalam kondisi yang prima untuk dikendarai, mengingat rute yang cukup panjang hingga 9 km lebih. Pengamatan dengan naik sepeda ini juga tidak seperti jalan kaki yang bisa mendengarkan setiap pergerakan di pohon. Namun jarak yang jauh bisa melihat berbagai tipe habitat yang ada di dalam kawasan Cat Tien. 1 kelompok  Monyet ekor panjang ( Macaca fasciularis), 1 kelompok beruk ( Macaca leonina) dan 1 kelompok duc langur, berhasil kita jumpai di pengamatan hari ke-dua.

Acara Symposium

Kultur ilmuwan primata dan konservasionist di Vietnam secara umum sudah cukup maju, terlihat dari banyakknya para ahli primata dari Vietnam yang menjadi panitia acara, dan juga Lembaga-lembaga konservasi internasional, yang turut mendukung kegiatan ini. Acara pembukaan  symposium pada tanggal 14 November 2022, pagi hari waktu Hanoi berlokasi di auditorium  Vietnam university of forestry faculty di buka plenary talk oleh Cristian Roos tentang genomic Asian primates. Menyampaikan keragaman dan sejarah genetic dari jenis-jenis primata asia.

Saya sendiri mempunya jadwal presentasi di salah satu symposium bertema : “ Non human primate interaction and conflict” dengan  empat presenter lainnya, dengan judul presentasi "..." abstract semua presentasi dapat dibaca disini.

Ada satu symposium yang menarik tentang penggunaan drone thermal untuk survey dan monitoring populasi primata di Cat Tien National park, menggunakan komersial drone yang ada di pasaran, teknik pengambilannya malam hari, dengan pertimbangan pergerakan primata yang cenderung diam, dan suhu dimalam hari lebih dingin, disbanding siang hari, sehingga suhu primata dengan mudah terdeteksi lebih panas di sensor camera.

Saya juga menjadi moderator di salah satu symposium, bertema “human  non-human interaction and conflict” dengan 4 presenter.  Kebetulan sekali presentasinya berasal dari Indonesia semua. Yang pertama dari Center for Orangutan Protection, Octaviana Sawitri yang mempresentasikan kasus konflik orangutan di Kalimantan Timur, kemudian Nur Aoliya  yang mewakili swaraowa mempresentasikan Solusi dari kematian primata yang ada di Petungkriyono yang tersengat jaringan listrik. Presentasi ke tiga adalah Jochen Menner, meskipun dari Jerman namun beliau aktif di Prigen Conservation Breeding Ark,Taman Safari yang mempresentasikan perdagangan online primata Indonesia.  Dan yang terakhir adalah Indira Nurul Qomariah dari COP yang juga mempresentasikan illegal primate trade in Indonesia.

Hari Kedua, 15 November 2022, adalah field trip ke Chuc Puong National Park, yang di tempuh kuranglebih 4 jam perjalanan menggunakan bus. Di ikuti oleh semua peserta, dan ini kali ke-2 sya mengunjungi Chuc Puong National Park dan melihat lagi pusat rehabilitasi primata yang ada disini dan juga jenis-jenis satwa terancam punah lainnya. Pusat rehabilitasi primata  EPRC ( Endangered Primate Rescue Center) ini didirikan tahun 1993 dengan tujuan untuk merehabilitasi primata hasil sitaan perdaganggan illegal dan juga mendukung program pelestarian melalui captive breeding, apabila prasyarat pelepasan liar kembali ke habitatnya telah dipenuhi, akan di lepaskan kembali. Jenis-jenis Duc  dan lutung sangat attractive dan warna yang mencolok, bisa membayangkan apabila di alam habitat aslinya, yan beberapa di antaranya berada di kawasan ekstrim sepert karst. Sayangnya kondisi di alam sangat terancam karena perburuan.

Golden Headed langur di EPRC

Ada pusat rehabiltasi dan konservasi reptile, jenis kura-kura dan mamalia lain seperti trenggiling dan carnivor kecil lainnya. Semua fasilitas ini sebagian di antaranya digunakan untuk kegiatan edukasi kepada pengunjung, dimana staff dan keeper yang ada disini dapat menjelaskan kegiatan yang dilakukannya untuk menyelamatkan hidup dari satwa-satwa asli Vietnam ini. Namun seperti di awal saya ceritakan kalau Vietnam ini merupakan episentrum dari perdagangan satwa dunia, merilis satwa-satwa liar ini bisa jadi kepunahan mereka, karena akan di tangkap lagi dan dimakan atau di jual belikan.

Nomascus gabrielle

Nomascus siki

sepasang owa pipi kuning ( Nomascus gabrielle)

Ada dua jenis Owa yang saya jumpai berada di kawasan semi liar di dekat rehabilitasi, karena berada di luar kendang, terlihat seperti di habitat aslinya. Nomascus Gabriele dan Nomascus siki. Berbeda dengan owa di Indonesia, dua jenis owa berjambul ini sexual dicromatism, artinya jantan dan betina berbeda warna bulu rambut, jantan dewasa berwarna hitam dan betina orange. Waktu owa baru lahir owa lahir berwarna orange, kemudian ketika tumbuh dewasa, jantan akan berubah warna menjadi hitam dan betina tetap berwarna orange. 

Kunjungan kedua setelah Chuc Puong National Park ini adalah ke kawasan Van Long Nature Reserve, untuk primate watching di  kawasan wetland karst yang ikonik sekaligus melihat jenis lutung. Sayangnya setiba di lokasi ini hujan sangat deras dan akhirnya acara di batalkan. Sayang sekali, konon katanya inilah tempat primate watching paling  banyak di kunjungi di Vietnam sebelum pandemic. Silahkan googling sendiri foto-foto van long nature reserve ini ya. Dan sekaligus ini menjadi akhir dari kunjungan symposium di Vietnam, karena saya harus balik ke Indonesia esok paginya.

Apresiasi untuk panitia symposium, terutama Three monkeywildlife sanctuary dan mengucapkan terimakasih kepada IUCN SSA  dan Fortwayne Children's Zoo yang mendukung keberangkatan saya dan Aoliya ke Vietnam, sampai jumpa lagi di symposium Asian primate tahun 2024 yang kemungkinan akan dilaksanakan di Indonesia.

 

 



No comments:

Post a Comment